Logo Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (PTIQ) Jakarta
Dokumentasi
Selasa, 17 Maret 2015
Sambutan Ketua Badan Pembina YPA pada Wisuda 2014
PENCERAHAN
ALQURAN MENUJU DEMOKRASI INDONESIA YANG MAJU DAN MODERN
Kata
Sambutan pada Acara Wisuda Perguruan Tinggi Ilimu Al Quran[1]
Pontjo Sutowo[2]
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Kita
panjatkan puji dan syukur ke hadhirat Allah subhana
wa taala atas segala limpahan rahmat, nikmat, hidayah dan inayah-Nya kepada
kita sekalian, karena hari ini kita bukan saja berada dalam keadaan sehat wal
afiat, tetapi juga karena hari ini kita akan mewisuda kader-kader muda ummat
Islam Indonesia yang mumpuni dalam ilmu Al Quran, bukan saja pada jenjang
pendidikan strata satu (S-1) dan strata dua (S-2), tetapi juga pada jenjang
pendidikan strata tiga (S-3).
Artinya,
para wisudawan kita sekarang ini bukan saja faham tentang ayat-ayat qauliyah yang telah diwariskan kepada kita oleh
Rasulullah salallahu alaihi wassalam, tetapi
juga mahir untuk mengadakan penelitian dan pengkajian dari ayat-ayat qauniyah yang ada di sekitar kita.
Adalah
jelas, bahwa tidaklah mudah untuk mengerti, memahami, menghayati, apalagi
mengamalkan keluhuran Sabda Ilahi yang terkandung dalam ayat-ayat qauliyah itu, baik oleh karena tidak jarang disampaikan
dalam bahasa simbolik, tetapi juga dan terutama oleh karena keterbatasan akal
budi kita sebagai manusia yang dhaif.
Apa yang dapat kita lakukan adalah membuka hati dan fikiran kita
seluas-luasnya, bukan hanya untuk menyerap seluruh Sabda Ilahi dan demikian
banyak hadis dan sunnah Rasul, tetapi juga untuk memahami asbabun nuzul setiap ayat, baik secara khusus maupun dalam konteks
sosiokultural jazirah Arab pada saat itu.
Kita
sadar bahwa seluruh Sabda Ilahi beserta hadis dan sunnah Rasul mengandung dua
dimensi, yaitu dimensi universal yang ditujukan untuk seluruh umat manusia
sepanjang zaman, serta dimensi lokal dan kontekstual yang dimaksudkan sebagai
koreksi dan petunjuk untuk masyarakat Arab dan kaum muslimin dan muslimat pada
zaman itu.
Kedua
dimensi ini harus kita identifikasi
dengan baik dan arif oleh karena dimensi universal berlaku mutlak sebagai aqidah dimanapun dan sepanjang zaman, sedangkan
dimensi lokal dan kontekstual memerlukan penyesuaian dan pengembangan secara
inovatif, kreatif dan berkelanjutan sesuai dengan latar belakang sejarah dan
kebudayaan umat Islam yang bersangkutan.
Dalam
hubungan inilah kita melihat adanya keanekaragaman sosiokultural dari umat
Islam, bukan hanya pada tataran global dan regional, tetapi juga pada tataran
nasional dan lokal. Demikianlah misalnya, kita mengenal adanya keanekaragaman
peradaban umat Islam di Timur Tengah, di Afrika Utara, di Iran, di anak benua
India, di barat China, di Asia Tenggara, dan akhir-ahir ini di Eropa Barat,
Amerika Serikat, dan Australia. Umat Islam telah hadir dan berkembang di
kawasan baru ini, baik oleh karena migrasi maupun karena konversi dari
masyarakat setempat.
Sudah
barangtentu, peradaban umat Islam di kawasan Timur Tengah merupakan rujukan
utama bagi pemahaman kita tentang bagaimana seharusnya dimensi universal ajaran
Al Quran itu harus ditindaklanjuti ke dalam kenyataan. Kenyataan sejarah
menunjukkan bahwa semangat yang terkandung dalam ajaran Islam di kawasan Timur
Tengah dan Afrika Utara -- dalam kurun waktu kurang lebih tujuh abad – secara
kreatif telah mampu mengubah masyarakat Arab Baduy yang terbelakang dan
terpercahbelah, menjadi suatu komunitas umat seiman yang toleran dan bersatu,
serta mampu menyerap dan mengembangkan berbagai peradaban tua yang ada di
kawasan tersebut menjadi suatu peradaban dunia baru yang sejahtera dan dinamis.
Izinkanlah
dalam hubungan ini saya memohonkan perhatian kita semua terhadap dua momen
penting dalam sejarah Islam di dua kawasan tersebut.
Momen pertama adalah pembentukan suatu
komunitas politik lintas-agama yang beliau bangun di Madinah, yang selain
mempunyai warga kaum muslimin dan muslimat
- baik dari golongan anshar maupun dari golongan muhajirin – juga mempunyai warga dari umat Yahudi, Nasrani, dan
umat-umat lainnya. Sungguh menarik, bahwa kaum non-muslim tersebut tidak
dipaksa untuk tunduk pada agama dan hukum Islam, tetapi hanya dibebani
kewajiban wajar membayar pajak dan mematuhi hukum, sedangkan dalam masalah
keagamaan dan peradilan perdata hak mereka diakui secara penuh untuk mengatur
diri sendiri. Rasanya tidaklah berkelebihan untuk menyatakan bahwa dalam
hubungan ini Rasulullah salallahu alaihi
wassalam adalah pelopor pembentukan embrio suatu Negara nasional dan
pelopor pengakuan terhadap hak asasi manusia tanpa diskriminasi berdasar ras,
etnik, atau agama.
Momen kedua adalah pesan pribadi
Rasulullah salallahu alaihi wassalam sewaktu
menjalankan ibadah haji terakhir, antara
lain bahwa beliau telah menuntaskan kewajiban beliau menyampaikan agama
Islam, dan bahwa umat Islam jangan suka bertengkar satu sama lain. Bahwa pesan
agar jangan bertengkar satu sama lain disampaikan secara khusus menunjukkan
bahwa kebiasaan bertengkar dalam masyarakat Baduy Arab pada saat itu memang
sudah berurat berakar dan harus dihentikan.
Dengan
berbekal semangat keimanan yang terkandung dalam Al Quranulkarim, hadis, dan sunnah Rasul, serta dilengkapi dengan
dasar institusi politik yang terkandung dalam Piagam Madinah dan pesan pribadi
Rasulullah dalam haji wadak itulah
muncul rangkaian kekhalifahan yang timbul antara abad ke 7 sampai abad ke 14
Masehi, sebagai komunitas politik umat Islam yang telah memberikan sumbangan
besar terhadap peradaban ummat manusia, yang belum pernah terjadi dalam
abad-abad sebelumnya.
Toleransi
dan saling hormat menghormati antara umat berbagai agama benar-benar terwujud
dalam kenyataan sehari-hari. Umat Yahudi – misalnya – hidup dengan nyaman di
bawah khalifah-khlaifah Islam di Andalusia, yang tidak pernah lagi mereka
nikmati setelah khalifah Islam terusir dari jazirah itu sekitar abad ke 15.
Ilmu pengetahuan dan teknologi tumbuh dan berkembang, ditangani oleh para
ilmuwan yang berasal dari berbagai ras dan menganut berbagai agama.
Perpustakaan yang besar tumbuh semarak di berbagai kota, bersamaan dengan
kemajuan ekonomi dan perdagangan.
Memang
adalah suatu pertanyaan besar yang harus kita jawab, faktor apakah yang
menyebabkan mengapa semangat dinamik dan kepeloporan islam di kawasan Timur
Tengah dan Afrika Utara tersebut menjadi sirna setelah abad ke 15, dan justru
beralih ke Eropa Barat mulai abad ke 17 dan setelahnya ? Mengapa komunitas
politik muslim yang sebagian besar berbudaya maritim, malah jatuh satu demi satu
ke bawah penjajahan dari negara-negara Barat, yang sebelumnya justru jauh lebih
terbelakang dibandingkan dengan komunitas politik islam ? Mengapa, seperti
disimpulkan oleh dua orang peneliti dari The George Washington University
beberapa tahun yang lalu, nilai-nilai ajaran sosial budaya dan doktrin sosial
ekonomi islami – seperti kejujuran, disiplin, kerja keras, dan menghormati
hukum - justru banyak dipraktekkan oleh Negara-negara Barat, dan kurang oleh
Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ? Kok seperti
terbalik-balik ?
Menurut
pandangan saya pribadi, dua pertanyaan inilah yang harus direnungkan dan
dicarikan jawabannya – cepat atau lambat – oleh para alumni PTIQ yang diwisuda
sekarang dan dalam tahun-tahun mendatang. Tujuannya bukanlah sekedar untuk
memenuhi rasa keingintahuan kita, betapapun pentingnya hal itu, tetapi juga
untuk mengonsolidasikan dan lebih medinamisasi peranan sosiokultural kaum
muslimin dan muslimat di Indonesia. Jawaban terhadap dua pertanyaan tersebut
juga relevan untuk merumuskan peran kaum muslimin dan muslimat Indonesia dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, baik sekarang maupun di masa datang.
Izinkanlah
saya sedikit mengelaborasi apa yang saya maksudkan. Sukar untuk dibantah, bahwa
peran umat Islam Indonesia dalam perjuangan untuk merebut kemerdekaan dan untuk
mendirikan sebuah Negara kebangsaan di kepulauan ini sangatlah besar. Hal itu
bukan hanya disebabkan oleh karena jumlah penganut umat Islam di Indonesia
sangatlah besar, yatu sekitar 88%, tetapi juga oleh karena sumbangan wawasan
islam yang diberikan oleh para alim ulama kita dalam proses merumuskan shared values kebangsaan yang kita
bangun bersama dengan para penganut umat beragama lainnya di Indonesia.
Semangat
toleransi dan saling hormat menghormati antar berbagai penganut agama dan
kepercayaan, yang dirumuskan Rasulullah salallahu
alaihi wassalam dalam Piagam Madinah, sudah merupakan bagian alami dari
norma dan tatakrama adat istiadat kita. Larangan bertengkar yang disampaikan
Rasulullah salallahu alaihi wassalam secara
khusus dalam haji wadak, sudah
merupakan bagian dari kehidupan komunal kita sehari-hari. Mungkin oleh karena
itulah mengapa semangat islami dan kearifan lokal masyarakat kita demikian
meresap dalam tiga tahap perumusan Pancasila sebagai dasar dan ideology negara,
baik pada tanggal 1 Juni, tanggal 22 Juni, maupun tanggal 18 Agustus 1945.
Sudah
barangtentu adalah wajar bahwa kita amat risau dengan apa yang terjadi dengan
saudara-saudara seiman kita yang hidup dikawasan Timur Tengah dan Afrika Utara
sekarang ini, yang bukan saja hidup dalam rangkaian konflik berdarah yang tidak
putus-putusnya, tetapi juga sarat dengan suasana hujat menghujat satu sama sama
lain. Tidaklah mudah bagi kita untuk mencari peran ajaran Islam dalam menangkal
dan mengatasi konflik yang tidak putus-putusnya itu. Seiring dengan itu,
tidaklah mengherankan bahwa tidaklah terlalu sulit bagi musuh-musuh umat Islam
untuk menyusup dan mengadudomba antara satu golongan umat Islam dengan golongan
umat Islam yang lainnya.
Kita
patut bersyukur bahwa bersama dengan para perintis dan pejuang kemerdekaan
lainnya, para ulama kita telah memberikan sumbangan konseptual yang besar dalam
perumusan Pembukaan dan Rumasan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
dasar dan ideologi Negara; dalam mengeluarkan fatwa jihad dalam palagan Surabaya bulan November 1945: dalam
memprakarsai Mosi Integral dalam
perjuangan kembali ke bentuk Negara Kesatuan dalam bulan Agustus tahun 1950,
dan akhirnya dalam menolak berbagai pengaruh dan aksi radikalisme yang
berbungkus label Islam, yang terjadi akhir-akhir ini.
Sebaliknya,
kita sudah menikmati berbagai hak dan fasilitas kewargaan yang disediakan oleh
negara, baik yang bersifat umum seperti hak sipil dan politik seta hak ekonomi,
sosial, dan budaya, maupun yang bersifat khusus seperti diundangkannya berbagai
aspirasi dan kepentingan kita sebagai suatu umat beragama, seperti tentang
pelayanan haji, zakat, administrasi perkawinan. Dua organisasi besar umat Islam
Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sudah menyatakan dengan
resmi bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila adalah
bentuk final Negara yang dicari oleh umat Islam Indonesia.
Seluruh
peran umat Islam dalam pembangunan Bangsa dan Negara ini perlu disadari,
diresapi, dikonsolidasikan, serta ditindaklanjuti secara sistematis dan
berkelanjutan oleh gelombang demi gelombang generasi umat Islam Indonesia.
Generasi muda umat Islam bukan saja harus memahami latar belakang wacana para
Pendiri Negara dalam proses perumusan Pembukaan dan Pasal-pasal Undang-Undang
Dasar 1945 beserta Penjelasannya, tetapi juga berbagai peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus bagi umat Islam
Indonesia.
Dalam
hubungan ini, generasi muda Islam pada umumnya dan para alumni PTIQ pada khususnya, perlu
memahami bukan saja seluruh wacana para Pendiri Negara dalam Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI ) dan Panitia Persiapan
Kemeredkaan Indonesia ( PPKI ) pada tahun tahun 1945, tetapi juga perkembangan kehidupan bebangsa
dan bernegara sekarang ini. Lebih dari itu, seluruh generasi muda Islam perlu
memahami berbagai peluang dan tantangan yang terbuka dalam abad global sekarang
ini, agar bisa memanfaatkan berbagai peluang serta menjawab berbagai tantangan
yang tumbu saling berganti.
Kita
patut bersyukur bahwa gagasan untuk mengonsolidasikan peran kebangsaan dan
peran kenegaraan dari umat Islam Indonesia ini telah mulai dilakukan secara
informal oleh dua organisasi besar umat Islam Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah. Dalam bentuk yang lebih sederhana, kita juga ikut dalam upaya
bersejarah ini, dengan memprakarsai dua kali Festival Istiqlal, masing-masingnya tahun [ 1991 dan 1995].
Secara
khusus perlu saya mintakan perhatian kita sekalian terhadap suatu ironi sejarah, bahwa walaupun
peranan umat Islam Indonesia demikian besar dalam memperjuangkan dan dalam
membentuk Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun sebagian
terbesar dari penduduk miskin dan terbelakang di Negara ini justru adalah umat
Islam. Faktor penyebabnya mudah kita terka, yaitu oleh karena kita kurang
memahami dan kurang menghayati esensi ajaran Al Quranulkarim dan hadis serta
sunnah Rasulullah, khususnya dalam Piagam Madinah dan haji wadak.Kita terlalu sibuk
berpolitik dan mengabakan ekonomi. Padahal ajaran Islam mendorong kita untuk
mencari keseimbangan dan kesejahteraan dalam hidup ini.
Dengan
kata lain, bersama dengan kaum muda lainnya, para alumni PTIQ perlu aktif dalam
merintis suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang bukan saja bermoral
islam, akhlaqul karimah, tetapi juga mewujudkan kehidupan yang adil dan
sejahtera, baik lahir maupun bathin. Kita bukan saja secara formal merupakan
bagian dari Bangsa dan Negara ini, tetapi juga merupakan bagian dari pendiri
dan sebagai pengelola aktifnya. Selain menjadi alim ulama dan muballigh yang
mumpuni, jadilah kalian sebagai wirausahawan, ilmuwan, dan umara yang tangguh,
baik di darat, di laut, maupun di udara. Saya percaya bahwa Saudara-saudara
sekalian mampu menunaikan tanggungjawab sejarah ini.
Kepada
seluruh wisudawan yang diwisuda pada hari ini, serta kepada para orang tua, dan
sanak keluarga, serta kepada seluruh korps guru besar, dosen, dan staf dan
karyawan PTIQ, saya ucapkan selamat dan terima kasih. Lanjutkanlah perjuangan
ini secara gigih, bermoral, dan bermanfaat bagi Bangsa dan Negara.
Semoga
Allah subhanahu wa taala selalu
melindungi dan meridhai setiap langkah perjuangan kita semua. Amin.
Wabillahit taufiq wal hidayah,
Wassalamu alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Jakarta, 8 November 2014.
Merak
Room Jakarta Convention Center
Ketua
Badan Pembina YPA
H. Pontjo Sutowo
Layout Wisuda 20014 di Merak Room JCC
Wisuda Sarjana Strata Satu Ke-17, Strata Dua Ke-9, dan Strata Tiga Ke-2 Tahun 2014
Merak Room Jakarta Convention Center (JCC) Sabtu, 08 November 2014
Merak Room Jakarta Convention Center (JCC) Sabtu, 08 November 2014
Langganan:
Postingan (Atom)